TIM KAJIAN
SENAT MAHASISWA FK UNG 2025
KABINET CAKRADIKTYA
A. Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular kronis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Berdasarkan Global TB Report Tahun 2023, Indonesia berada pada posisi kedua dengan jumlah beban kasus TBC terbanyak di dunia setelah India, diikuti oleh Cina. Dengan jumlah kasus TBC diperkirakan sebanyak 1.060.000 kasus TBC dan 134.000 kematian akibat TBC per tahun di Indonesia (terdapat 17 orang yang meninggal akibat TBC setiap jamnya). Tahun 2024, jumlah pasien TBC yang ditemukan di Gorontalo tercatat sebanyak 4.681 orang, dengan capaian indikator penemuan dan pengobatan sebesar 67% hingga 11 November 2024. Namun, angka ini masih jauh dari target nasional notifikasi kasus TBC, yakni sebesar 90%. Kabupaten gorontalo sendiri hingga 30 september 2024 mencatat 1428 kasus TBC sensitif, dimana Desa Pilohayanga yang berada di Kecamatan Telaga mencatat 17 kasus dari skrining Januari hingga Mei 2025 yang mana tidak terdapat kasus TB resisten obat (RO) dan TB anak.
Sebagai upaya penanggulangan TBC, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan TBC. Terdapat enam strategi penanggulangan TBC di Indonesia, yaitu: a. Penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota untuk mendukung percepatan eliminasi TBC 2030; b. Peningkatan akses layanan TBC bermutu dan berpihak pada pasien; c. Optimalisasi upaya promosi dan pencegahan, pemberian pengobatan pencegahan TBC, serta pengendalian infeksi; d. Pemanfaatan hasil riset dan teknologi skrining, diagnosis, dan tatalaksana TBC; e. Peningkatan peran serta komunitas, mitra, dan multi-sektor lainnya dalam eliminasi TBC; dan f. Penguatan manajemen program melalui penguatan sistem kesehatan.
Adapun upaya yang sudah dilakukan pemerintah Desa dan Puskesmas Pilohayanga terkait kasus TBC yang terjadi, yakni skrining, penyuluhan (di puskesmas saat hari posyandu serta dari rumah ke rumah), dan pengobatan (pemberian OAT atau Obat Anti Tuberkulosis). Sejalan dengan upaya pencegahan TBC oleh pemerintah pada Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2021 pada poin optimalisasi upaya promosi dan pencegahan, pemberian pengobatan pencegahan TBC, serta pengendalian infeksi, maka SENMA FK UNG merencanakan intervensi langsung ke Desa Pilohayanga.
B. Permasalahan 1. Minimnya Pengetahuan Masyarakat tentang TBC Tingkat pemahaman masyarakat Desa Pilohayanga terhadap TBC masih rendah. Banyak warga belum mengetahui gejala, cara penularan, serta pentingnya deteksi dini dan pengobatan yang tepat. Akibatnya, batuk berkepanjangan sering dianggap sebagai penyakit biasa, sehingga pasien terlambat mencari pertolongan medis dan memperbesar risiko penularan di komunitas.
2. Stigma Sosial terhadap Penderita TBC Penderita TBC kerap menghadapi pengucilan dari lingkungan sekitar. Pandangan negatif terhadap pasien TBC menimbulkan rasa malu dan takut terbuka, yang berujung pada ketidakpatuhan dalam menjalani pengobatan. Situasi ini memperburuk kondisi penderita dan memicu siklus penularan yang lebih luas. 3. Rendahnya Kepatuhan terhadap Pengobatan Meski obat TBC tersedia secara gratis, kepatuhan pasien dalam mengonsumsi OAT (Obat Anti-TBC) masih menjadi tantangan besar. Minimnya pendampingan, kurangnya motivasi, dan tidak adanya sistem pengawasan yang efektif menyebabkan banyak pasien menghentikan pengobatan sebelum waktunya. Hal ini berisiko memunculkan TBC Resisten Obat (TBC RO). 4. Gizi Buruk pada Penderita Pola makan yang kurang bergizi memperlambat proses penyembuhan pasien TBC dan menurunkan daya tahan tubuh. Di sisi lain, belum ada program bantuan gizi di Desa Pilohayanga yang secara khusus menyasar pasien TBC, berbeda dengan desa lain seperti Desa Tilango yang sudah mengimplementasikan intervensi serupa. 5. Kesulitan Menjangkau Masyarakat untuk Sosialisasi Mayoritas warga Desa Pilohayanga bekerja pada siang hari, sehingga sulit dilibatkan dalam kegiatan penyuluhan kesehatan. Hal ini menjadi kendala bagi tenaga kesehatan dan kader dalam melaksanakan edukasi yang efektif dan menjangkau seluruh kelompok sasaran. 6. Minimnya Akses Edukasi yang Berbasis Komunikasi Dua Arah Program edukasi yang ada masih bersifat satu arah dan belum mengakomodasi dialog dengan masyarakat. Rendahnya keterlibatan warga dalam sesi penyuluhan menandakan perlunya pendekatan komunikasi yang lebih inklusif dan berbasis partisipasi aktif. 7. Kurangnya Inovasi Penanganan TBC dari Pemerintah Desa Pemerintah desa belum memiliki program inovatif yang spesifik untuk penanggulangan TBC, baik dari sisi pencegahan maupun dukungan pasien. Keterbatasan anggaran sering dijadikan alasan, padahal intervensi berbasis komunitas dapat dilakukan secara kolaboratif dan dengan biaya minimal. 8. Lemahnya Dukungan Keluarga dan Lingkungan Sekitar Sebagian pasien TBC tidak mendapatkan dukungan moral dan sosial dari keluarga maupun tetangga. Masih adanya anggapan negatif terhadap penyakit ini membuat edukasi secara informal dari warga ke warga sulit terjadi, memperparah keterisolasian pasien. 9. Tantangan Edukasi dari Pintu ke Pintu Dengan jumlah kepala keluarga mencapai sekitar 700 KK, edukasi door-to-door menjadi sangat menantang untuk dilakukan. Terbatasnya jumlah kader dan waktu yang tersedia membuat pendekatan ini tidak efisien jika tidak disertai strategi penyuluhan kolektif dan terfokus.
C. Analisis Penyebab utama dari meningkatnya kasus TBC di Desa Pilohayanga tidak hanya berasal dari aspek medis, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, dan struktural: 1. Tingkat pengetahuan masyarakat yang masih rendah mengenai gejala TBC dan cara penularannya. Banyak warga yang menganggap batuk berkepanjangan sebagai penyakit biasa sehingga terlambat memeriksakan diri. 2. Stigma sosial terhadap penderita TBC masih sangat kuat. Warga cenderung mengucilkan penderita, sehingga mereka takut terbuka dan enggan berobat. Hal ini memperparah penularan karena pasien tidak mendapatkan pengobatan yang memadai. 3. Kurangnya edukasi dan penyuluhan rutin yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Kader kesehatan jumlahnya terbatas, dan belum semua RT memiliki pendamping aktif.
4. Kondisi lingkungan tempat tinggal yang tidak memenuhi standar kesehatan (rumah tanpa ventilasi, pencahayaan buruk, dan sanitasi yang rendah) menciptakan ruang ideal bagi bakteri TBC berkembang dan menyebar. 5. Kondisi Sosial-Ekonomi masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, dengan gizi kurang baik.
Efek dari kondisi ini sangat signifikan dan berlapis yang mencakup: 1. Penularan berlangsung diam-diam di tengah keluarga dan masyarakat karena banyak kasus yang tidak segera didiagnosis. 2. Beban ekonomi meningkat karena penderita TBC umumnya tidak bisa bekerja selama pengobatan, yang berlangsung minimal 6 bulan. 3. Risiko berkembangnya TBC resisten obat (TBC RO) semakin tinggi jika pengobatan tidak tuntas. Ini dapat menimbulkan masalah kesehatan yang lebih kompleks dan biaya pengobatan yang jauh lebih besar. 4. Kualitas hidup menurun, baik secara fisik, sosial, maupun psikologis, karena penderita merasa dikucilkan dan kehilangan rasa percaya diri.
Pihak-pihak yang terlibat dan memiliki peran strategis dalam dinamika ini antara lain: 1. Masyarakat Desa, sebagai penderita potensial, dan juga sebagai penentu pola penyebaran. 2. Keluarga pasien, sebagai lingkungan terdekat yang bisa mendukung atau justru memperparah kondisi pasien. 3. Tenaga kesehatan (Puskesmas, Kader posyandu/kesehatan) sebagai ujung tombak pelayanan dan pemantauan pengobatan. 4. Pemerintah desa, yang memiliki otoritas untuk membuat regulasi lokal dan mengalokasikan anggaran desa.
Situasi yang terjadi saat ini perlu diubah secara menyeluruh karena kondisi yang ada belum cukup efektif untuk menekan angka penularan TBC. Hal-hal yang perlu diubah dan ditingkatkan: 1. Pendekatan edukasi harus disesuaikan dengan budaya lokal. Edukasi tidak cukup hanya berbasis medis, tetapi harus melibatkan tokoh agama dan adat agar pesan dapat diterima dengan baik. 2. Penyuluhan perlu menjangkau seluruh dusun, dengan strategi komunikasi yang lebih interaktif (diskusi kelompok, drama desa, dll). 3. Program PMO (Pengawasan Minum Obat) masih kurang konsisten dan perlu diperkuat dengan keterlibatan kader yang dilatih khusus. 4. Anggaran desa untuk kesehatan masih sangat minim dialokasikan untuk TBC, padahal ini termasuk masalah kesehatan menular yang dapat menjadi darurat lokal.
Secara nasional, regulasi penanggulangan TBC telah diatur melalui: 1. Permenkes No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis 2. Strategi Nasional Penanggulangan TBC 2020–2024, yang menargetkan eliminasi TBC pada tahun 2030 3. Program DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) sebagai pendekatan standar penanganan TBC
Namun, di tingkat lokal desa, belum ada regulasi atau kebijakan tertulis yang mendukung program TBC secara spesifik. Desa Pilohayanga dapat mencontohi Desa Tilango yang memiliki program bebas TB dimana pasien yang terkena TB diberikan pemberian bantuan makanan sebagai bantuan asupan gizi setiap bulan selama 6 bulan. Namun hal ini belum dapat diwujudkan karena anggaran desa yang belum mencukupi. TBC bukan sekadar masalah kesehatan individual, tetapi masalah sosial-struktural yang memerlukan pendekatan lintas sektor. Penanggulangan TBC harus dibangun dengan strategi kolaboratif antara tenaga kesehatan, masyarakat, pemerintah desa, dan tokoh adat/agama. Jika tidak ada perubahan yang sistematis, maka penyebaran TBC akan terus berlanjut dan memperburuk kualitas hidup masyarakat Desa Pilohayanga.
D. Kesimpulan Permasalahan tuberkulosis (TBC) di Desa Pilohayanga tidak hanya merupakan isu kesehatan, tetapi juga cerminan persoalan sosial dan struktural yang kompleks. Rendahnya pengetahuan masyarakat, kuatnya stigma sosial, minimnya akses edukasi yang adaptif, serta lemahnya dukungan keluarga dan komunitas menjadi hambatan besar dalam upaya pencegahan dan pengobatan TBC. Ditambah dengan keterbatasan sumber daya dan kebijakan desa yang belum berpihak secara spesifik terhadap penanganan TBC, masalah ini berpotensi terus berlangsung dan menurunkan kualitas hidup masyarakat. Penanggulangan TBC di desa ini perlu intervensi multisektoral yang menyasar akar masalah secara komprehensif, yakni pendekatan kolaboratif dan berbasis budaya lokal yang melibatkan seluruh elemen masyarakat—termasuk pemerintah desa, tokoh adat/agama, dan keluarga pasien. Tanpa perubahan sistematis dan gotong royong lintas sektor, eliminasi TBC di Desa Pilohayanga akan sulit tercapai.
E. Solusi dan/atau Rekomendari Kebijakan Untuk mengatasi penyebaran TBC di wilayah pedesaan, diperlukan kebijakan yang menekankan pada edukasi berbasis partisipasi masyarakat. Edukasi sebaiknya tidak hanya bersifat satu arah, namun lebih inklusif dengan melibatkan masyarakat secara aktif, terutama dalam sesi penyuluhan. Penting untuk memberikan ruang seluas - luasnya bagi masyarakat untuk menyampaikan keluhan, pertanyaan, serta pengalaman mereka. Hal ini akan menumbuhkan rasa didengar dan dihargai, sehingga program dapat diterima dan berjalan dengan lebih efektif. Selain itu, bagi masyarakat yang telah terdiagnosis TBC, perlu adanya penguatan program Pengawas Minum Obat (PMO). Program ini bertujuan untuk memastikan pasien mengonsumsi obat secara teratur dan tuntas, yang merupakan kunci utama dalam kesembuhan dan pencegahan resistensi obat. Pendampingan yang konsisten dan empatik akan memberikan dukungan moral serta meningkatkan kepatuhan pengobatan dan Kebijakan ini menekankan kolaborasi antara petugas kesehatan dan masyarakat dalam semangat gotong royong demi terciptanya lingkungan yang sehat dan bebas TBC.
DAFTAR PUSTAKA
Melatik dosen klinik sebagai fasilitator klinik.
Roadshow Virtual di FK UNG oleh Ummat Tv dan Akademi Konten
Diikuti oleh seluruh dosen klinik FK UNG sebagai persiapan menuju tahap profesi dokter.
Lecturer: Dr. Shigeru Takaoka (Director of Kyoritsu, Neurology, and Rehabilitation Clinic, Japan) | Opening Speech: dr. Sri Asriyani, Sp.Rad(K), M.Med.Ed. (Dean Faculty of Medicine State University of Gorontalo)